Hari itu seolah kelabu, berhenti lalu mati. Walau detik kian berlari satu sama lain, melompati jarum panjang yang mengkompisisikan mereka pada sebuah jam dinding besar berlatar foto kita. Apa? Kita? Ya, memang aku yang menginginkan pergi, tapi percayalah, sampai satu tahun terakhir ini belum ada yang bisa mengalihkan posisi kamu dihati aku Yan, kamu terlalu special. Terlalu ya terlalu, sampai-sampai aku menggunakan perasaan ketimbang logika untuk menerima ucapanmu tiga tahun lalu itu. Hey, kamu apa kabar? Sudah adakah wanita lain mengisi hari kamu? Menjadikannya putri tidur yang selalu ada dihati kamu Yan? Adakah wanita hebat itu? Yang sanggup menambal luka hati kamu atas ulahku? Maafkan aku, Yan. Tapi sungguh aku terpaksa. Aku mengalahkan hati aku Yan, aku nggak mau terlalu banyak membuat darah ini memanas atas ulah kita. Aku nggak mau kamu terlalu sakit karena sakit-sakit ringan yang aku buat. Begitu juga sebaliknya. Aku menghargai rasa sayangmu, karena sungguh aku merasa nyaman dengan itu. Ya, karena aku mencintai kamu lebih dari yang kamu tahu. Mungkin kamu bertanya, ada apa denganmu Chita? Mungkinkah Yan? Sakit hati berbalut cemburu itu sangat hebat Yan, apa kamu tahu itu? Tapi lebih sakit lagi, sakit hati dipadukan rasa rindu, sayang dan kecewa. Arkh, aku benci semua rasa yang mengkombinasikan itu Yan, sungguh! Tapi hari ini, sama seperti setahun yang lalu Yan, iya, saat aku bilang mantra itu. Saat aku putuskan untuk menyudahi kisah kita. Hanya rindu dan airmata yang kini temani hari. Sudahlah, mungkin ada baiknya kita seperti ini.
***