Minggu, 23 Januari 2011

Aku, Kamu, Dia, dan Mereka..

Nggak tau harus memulai dari mana. Rasanya tiap kali aku membuka jejaring social itu, ada sebersit rasa penasaran menghantuiku. Aku takut dengan sesuatu yang seharusnya tidak perlu aku takuti. Tapi, iya, aku hanya takut. Takut sampai dia terbawa pada masa lalunya, takut pada masa depanku kalau sampai tak bersamanya. Huhh.. Mungkin terlihat sedikit lebay. Atau bahkan memang lebay. Entahlah.. Kini profesiku seperti detektif gadungan. Iya, belajar menjadi pengintai. Huffhh, aneh. Sampai sebegininyakah aku? Sampai mencoba menjelajahi privacy orang lain? Astagfirullah, Allah, ampuni aku. Aku Gita, gadis yang baru menginjak kepala dua pada bulan Maret lalu. Anak pertama dan terakhir di dalam keluarga. Ya,, kadang bahkan sering aku merasa sepi. Aku butuh teman, bahkan lebih dari itu. Mungkin karena rasa keingin tahuanku dan rasa ingin memiliki sesuatu yang sama dengan gadis lainnya yang seusiaku, aku menjadi sedikit terjebak dengan rasa ini. Sampai akhirnya aku belajar menjadi detektif gadungan seperti ini. Ya,, masalah teman dekat. Atau mungkin pacar bahasa zaman sekarang. Hahh,, sudahlah. Pikirku. Kali ini aku langsung meng-klik akun keluar. Malas juga. Tiga kali rasanya, terjatuh seperti ini. Sepertinya dulu aku pernah begini. Iya, sewaktu SMA, lelaki itu membuat aku syok terapi karena ternyata aku salah menduga kebaikan dia. Hufft.. Kami sama-sama suka, atau mungkin saling sayang. Entahlah, tapi setiap kali aku berdiri di koridor kelas lantai 3, hanya untuk membeningkan pikiranku, lelaki itu selalu menemaniku. Dia berdiri disampingku, tanpa ucap. Sepertinya dia berusaha tenggelam dalam kedamaian bersamaku. Sampai akhirnya aku merasa nyaman dan ingin pulang. Dia selalu mengantarku. Walau hanya sampai angkot yang akan kutumpangi ada dihadapanku. Selalu begitu. Ya,, Levy. Tapi itu dulu, hubungan seperti itu sepertinya telah kandas ditelan jarak dan waktu. Kisah aku dengannya tak semanis lagu milik Krispatih, tak lekang oleh waktu. Entahlah.. Kepastian itu selalu tak kunjung datang darinya. Sampai suatu hari terbesit tekad untuk berkata padanya, bahwa aku sayang padanya. Bukan untuk meminta dirinya selalu hadir disampingku, tapi, aku hanya ingin sekedar melegakan hatiku. Tapi, sampai saat ini, belum sempat rasanya aku berkata seperti itu. Sampai diakhir pertemuan, dia hanya berkata jalani hidup masing-masing, sekarang lo udah gede. Jadi nggak usah gue jagain. Gue percaya sama lo, lo bisa jaga diri. Hanya itu. Lalu dia berlalu begitu saja. Sakit rasanya. Andai dia tau. Sampai akhirnya aku bertemu dengan adam lain, Fajar namanya. Hubungan itu tidak lama, karena dia ternyata hanya menemani hariku sebentar. Mungkin karena dia tidak tahan mendengar nama pria lain selain dirinya. Tapi aku tidak menyalahi diriku sendiri, kami setimpal. Gumamku. Entah bagaimana ceritanya, aku hanya gadis kedua setelah Anti teman sedaerahnya itu. Hancur untuk kedua kali hati ini. Sampai akhirnya suatu hari aku bertemu dengan adam lain dibulan ke 13 pasca kejadian yang membuang banyak airmataku. Namanya Arif. Kami beda fakultas, entahlah bagaimana ceritanya kami bertemu. Dia satu tingkat diatasku. Ya,, bisa dibilang senior. Trauma sebenarnya. Tapi, aku butuh sosok itu. Dia mencoba megungkapkan isi hatinya lewat tulisan panjang di halamanku. Entah itu lagu, atau apa. Kurang lebih, seperti ini.
Sekian lama pedih itu kau simpan
Menahan beratnya berjalan sendiri
Dalam kehampaan

Sekian kali kau merasa sepi...
Sekian peluh kau tanggung sendiri
Masih adakah sedikit bahagia dalam hatimu?

Akankah kau terbang sendiri dengan sayapmu?
Menahan beratnya beban di pundakmu,
Akankah kau mampu membawa itu semua
ke dalam mimpimu?

A little hope that we believe
Will make much miracles in our life
Percayakan pada semua yang menjagamu,
Percayakan hatimu pada diriku..
Di sini kita berbagi
Mencari sebuah jalan lain dari kehampaan ini,
Aku akan terbang bersamamu,
Agar ku bisa menahan peluh di hatimu..

Akankah tetap kau terbang sendiri dengan sayapmu?
Melalui harimu yang penuh sepi.
Sanggupkah kau bertahan selamanya
di dalam mimpimu?

A little hope that we believe
Will make much miracles in our life
Sadari bahwa kau tak bisa terbang sendiri
Melintasi mimpi hidup di dunia ini

Bersama kita lalui
Bersama kita lewati
Leave all the pain
And make our life beginning…
Entah apa itu. Menjelang genap usiaku menginjak kepala dua, aku merasa, cukuplah sosok ini sebagai penutup. Yang ku tau, kami adalah korban. Korban dari orang yang sama-sama kami sayang satu sama lain. Gila memang, entahlah. Karena itu aku mempertahankannya, berusaha mempertahankan diriku dan dirinya. Hey,, bukannya tak pantas kami disakiti lagi? Gumamku. Cukup kalian memasang duri dihati ini, sampai kebal rasanya. Aku tak mengerti. Mungkin begitu juga dengan akalku. Yang ku tau, aku sayang padanya, entah bagaimana dan siapa dia sebenarnya. Hahh,, sudahlah. Rasa ini hanya aku yang tau seorang diri. Sampai akhirnya hal konyol membuat kami berani berkomitmen, di akhir Maret.
***
Siang itu juga seperti biasa, aku belum berani memaparkan atas pembelajaranku sebagai detektif gadungan. Biarlah hanya aku dan Dia yang tau. Pikirku. Sampai suatu ketika aku tak sengaja mengulas kenangan tentang Levy dan berharap Arif mau bercerita sedikit banyak tentang Kirei tanpa ku tanyai. Gadis sebayanya yang sampai sekarang foto mereka masih tersimpan manis didompet yang sudah menemaninya kurang lebih 5 tahun itu.
”Dia itu,, blablablabla.. Nah, begitulah Levy..” ucapku mengenangnya. Bukan bermaksud seperti itu. Tapi sepertinya Arif harus tau, pikirku. Rasanya tak perlu memaparkan tentang Fajar, karena ternyata dia lebih tau dariku. Sedikit tersanjung rasanya, karena ternyata dia memperhatikanku dari dulu.
”Kenapa senyam senyum?” tukasnya
”Nggak apa-apa.. Hm,, ” Gita sayang kamu Bang.. lanjutku dalam hati. Abang, ya, sebutan Abang aku memanggilnya, mungkin kelihatan tidak romantis. Tapi entahlah. Mungkin karena aku merasa nyaman dengan panggilan itu disamping menghormati orang yang lebih tua dariku.
”Bang,,” lanjutku, berharap, harapan sebelum aku menceritakan Levy tadi terwujud
”Ya?” tanyanya. Ya, ini bedanya kaum hawa dan adam. Kaum hawa menggunakan sedikit banyak perasaannya karena itu mengapa aku inginkan dia menceritakan tentang Kirei tanpa harus aku mengintrogasinya. Sedang kaum adam menggunakan logikanya, mungkin dalam pikirannya, kalau nggak ditanya, kenapa harus diceritakan? Ya, mungkin seperti itu. Sudahlah, lain kali
Lapeerr.. ” ujarku mengalihkan harapan sambil memelas seperti anak yang belum pernah ketemu nasi 5 bulan
”Loh, makan? Bukannya tadi udah habis makan pisang goreng 5, bakwan 3? Jadi.. Masih laper juga? Bener-bener” candanya
Yee,, nyebelin. Biarin dong, kan biar gendut. Wle” ucapku sambil menjulurkan lidah kearahnya
”Ya ampun sayang,, sadar body dong. Ini tu udah gendut. Kamu mau segendut apa lagi coba?” Tukasnya sambil menunjuk kearah perutku
Iih,, segini tu yah, ideal tau. Aku tu cuma 50 kilo. Nggak percaya banget sii” ujarku dengan logat childish sambil mencubit pinggulnya yang isinya tulang semua
Aw. Ya udah yu, kita makan. Tapi senyum dulu dong” pintanya
Iiiiii” unjuk gigipun keluar
”Aduh, itu mah nyengir. Jelek ah”
Sedetik setelah senyuman manis aku buat,, ”Tuh udah! Hayu..”
”Ye,, matanya biasa aja dong, nggak usah keluar-keluar begitu”
Yee,, rese”
Hal konyol yang seperti ini yang aku suka. Bahkan sangat suka.. Aku selalu menjadi diriku dalam arti sebenarnya didepan dia. Sepertinya kali ini aku tak salah memilih orang. Ya, semoga.
***
Hari ini hari ulang tahunnya, huffh.. Aku gagal menjadi orang pertama yang ingin berbagi kebahagiaan bersamanya. Tugas-tugas itu membuatku tertidur pulas sampai akhirnya bangun tepat pukul jam 3 pagi. Dengan posisi terlentang dan mata masih sayup-sayup, aku mengirim rentetan kata-kata panjang kepadanya, isinya seperti ini

Allah Yang Maha Pemurah,
Dihari kelahirannya ini, ku mohon,
Tingkatkanlah iman islamnya,
Luruskanlah jalannya,
Jangan tinggalkan ia dalam keadaan susah,
Jangan pula tinggalkan ia dalam keadaan senang sehingga ia lupa akan nikmatMU,

Allah Yang Maha Baik,
Sempurnakanlah imannya,
Lancarkanlah rizkinya,
Tinggikanlah derajatnya dihadapanmu,
Ampunilah dosa-dosanya..

Allah Yang Maha Segalanya,
Lindungilah ia,
berikanlah ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi cobaan,
Permudahlah segala urusannya,
dan satukanlah kami dalam cintaMU,
Cinta yang Kau ridhoi, ikatan yang tak akan putus,
Ikatan yang selalu memberikan kedamaian atas izinMu,
Ikatan yang kelak menuntun kami untuk mencapai surga FirdausMU..
Amin :’)

Biasanya dia tertidur pulas. Apalagi jam segini. Lagi pulas-pulasnya. Balasanpun tak aku harapkan. Tapi,
Amin :’),
makasih,, kamu orang pertama sayang.. :)

***
Detektif gadungan lagi, ya, lagi dan lagi. Apalagi keadaannya lagi seperti ini. Liburan semester. Wajib rasanya menyelidiki dia dan gadis ini. Makin lihai sepertinya aku ini. Entah kenapa, rasa kesal sering menghantui kala gadis itu seolah mencampuri urusan aku dengannya, ya,, dengan Arif. Rasa tidak sukanya ditunjukan di statusnya, seolah menertawai aku dan duniaku. Alhasil kami berdua seolah perang didalam status jejaring sosial itu. Entah dari mana ia tau. Tapi mungkin ini salahku. Iya mungkin. Karena mungkin pikirnya aku merebut semua darinya. Hahh,, sudahlah. Celaan, hina, amarah meruak sudah. Mendarat. Aku hanya bisa mencoret-coret dengan pensil warna-warni. Berharap melupakan status kirimannya yang seolah memang ditujukan untukku. Malam ini, lagi-lagi aku berdiam diri dengan pintu terkunci didalam kamar, dan ditemani laptop kesayangan bunda, yang 5 tahun silam terpaksa meninggalkanku. Meninggalkanku dan meninggalkan ayah. Kanker itu berhasil merenggutnya dariku. Jam segini ayah sudah tertidur pulas, makanya aku berani mengunci kamarku. Kembali ke gadis tadi. Hufft.. Bukannya kita sama-sama perempuan? Seharusnya kita saling mengerti satu sama lain, seharusnya bukan saling menghina dan memojokan, tapi saling menguatkan, entahlah. Pikiranku makin tak karuan. Untuk membeningkan pikiran, ku coba menyetel musik instrumen sampai akhirnya,,
”Sayang,, bangun. Gita,,”
Panggilan itu membangunkanku dari mimpi buruk tentang Arif. Huhh,, untunglah hanya mimpi. ”Iya yah..” sahutku
”Sholat dulu nak..”
***
”Jadi kesini kamu bang?” percakapan itu ku mulai via telphone
”Iya,, ini udah di tol” sambungnya
”Jangan nyasar ya,, kan alamat lengkap udah Gita kasih tau.. Hati-hati ya di jalan. Kalau ada apa-apa sms aja, okey ganteng. Pret ah”
”Siap tuan putri”
”Oke tuan raja” kataku mengakhiri pembicaraan via telphone
Tak terasa liburan usai. Waktunya kembali kekandang. Huhh.. Berat rasanya meninggalkan ayah seorang diri di rumah. Tapi, ini harus. Karena, memang harus seperti ini. Ayah mengijinkanku untuk kuliah di kota kembang itu. Aku anak Sastra Indonesia, tak heran jika aku selalu menulis hal-hal aneh dihalamanku. Karena aku menyukainya. Seperti biasa, biasanya jam segini setelah rapih-rapih rumah dan menyiapkan sarapan untuk aku dan ayah, aku langsung ke kamar mungilku yang berada di sudut ruangan sebelah kanan. Sambil menunggu Arif sampai, aku berkeliling dunia dulu lewat om google. Melihat keadaan alam lewat layar laptop yang kadang menyiksa dan membuatku harus menggunakan kacamata minus 1,5. Berita itu semuanya aku ulas kembali di halamanku. Ya, maksudku, dicatatan jejaring sosial itu. Sebetulnya aku tidak paham betul berinteraksi di dunia maya. Entahlah. Bunyi hanphone mengagetkanku.
Sayang, bentar lagi aku sampe, tunggu di depan teras dong. Takut, hheheheh
Tersimpul senyum dengan wajah berseri, aku segera keluar kamar dengan menggunakan kaos merah jambu lengan panjang plus rok ala cinderlella berwarna putih dengan penutup kepala berwarna merah jambu yang agak tuaan dikit, aku menunggu sosok adam yang akan ku kenalkan nanti ke ayahku.
”Yakin nih masuk?”
Hm,, beginilah dia. Tidak seperti pacar-pacar temanku. Pertama ketemu malah nanya gituan. Huhh, bukannya komenin dulu penampilan. Aku hanya memasang wajah cemberut, minta perhatian darinya.
Adeuhh, manjanya. Tapi begitu makin cantik kok” candanya
”Ih,, rese. Kalau cemberut dibilang cantik. Heran deh”
”Cantik kok sayang, cantik. Mau pake karung goni juga kamu cantik” tambahnya lagi
Yee.. Rese! Ya udah yu masuk”
”Tapi yakin nih?”
Sambil tersenyum lalu mengangguk aku mengajaknya masuk kedalam rumah yang terletak di daerah pedalaman Bogor.
”Serius?”
”Ya ampun,, jadi nggak mau masuk? Ya udah, terserah”
”Assalamu’alaikum” tambahku sambil mendorong pintu kayu setinggi 2.5 meter itu
”Wa’alaikum salam.. Nak,, temen kamu sudah ada?” sahut ayah dari kamar tidurnya. Selang beberapa menit, ayah keluar. Dan,,
”Ayah, ini Arif yang Gita ceritain waktu itu. Abang, ini ayah. Eh, tunggu ya, Gita mau bikin minum dulu”
Ku tangkap wajah panik dan lunglai milik Arif Nugraha itu. Hhahaha. Puas rasanya menertawainya dalam hati. Mereka kaku. Terdengar jarang sekali percakapan yang ada. Hanya diam. Hening.
***
Entah apa yang membuat ayah suka dengannya. Setiap menelponku, pasti terselip nama Arif. Entahlah. Arif itu adam kedua setelah Levy yang datang ke rumah dan terlibat perbincangan langsung dengan ayah. Tapi Arif adam pertama yang aku kenalkan sebagai pacarku. Ya, karena ayah tau itu. Tidak ada rasa tertutup antara aku dan ayah, kami saling sharing, karena kami saling membutuhkan. Ayah tau betul siapa itu Levy. Hahh,, sudahlah. Aku tak mau mengungkitnya lagi. Yang ku tau, biarlah rasa untuknya tersimpan rapih disini. Di lembaran cerita non fiksi yang aku simpan di catatan jejaring sosial itu. Suara handphoneku mengagetkanku dalam lamunan akan sosok Levy yang dulu atau mungkin sampai sekarang masih aku kagumi. Ya,, aku kagumi, walau ada segores luka yang mendalam yang pernah diukir olehnya. Oh, sms. Harus menunggu kira-kira 15 detik untuk membuka pesan itu. Biasa, lola. Loading lama. Hm
Abu vulkanik udah nyampe bandung ya? Tapi lo baik-baik aja kan?
Kagetnya bukan kepalang. Levy. Huffh. Ga adil rasanya buat cowok lo kalau lo selalu ngomongin dia Ta.. Kalimat Deni itu terngiang lagi. Iya, Deni teman dekatnya Levy. Mereka satu tim basket di SMA dulu. Dari dulu, sepertinya hanya dia teman cowokku yang tau tentang perasaanku dengan manusia berambut cepak itu. Ya,, Levy. Hm,, lagi-lagi manusia itu selalu muncul ketika aku sudah sedikit lupa tentangnya.
Baik bang, alhamdulillah. Ia katanya..
***
Hari ini aku membiarkan tubuh ini beristirahat sejenak. Nanti pukul 10.30 aku ada kelas Sosiolinguistik. Ya, hanya matakuliah itu hari ini. Entah apalah itu. Karena penasaran, aku mencoba men-searching tentang matakuliah aneh itu. Hm, Sosiolinguistik. Dari halaman yang aku temui, Sosiolinguistik adalah kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain. Ya, berarti komunikasi itu penting. Itu alasan kedua aku tertarik mengambil jurusan ini. Hm,, si abang dimana ya? Tumben jam segini tu batang idung belom muncul. Sms juga enggak. Hmm.
”Ta,,”
”Siapa?” tanyaku
”Santi..”
”Bentar San” kuambil kunciran merah dan segera membuka pintu kamar kosanku. ”San, diluar nggak ada cowok kan?” tanyaku lagi.
”Nggak ada”
”Masuk” langsung kututup lagi pintu kosanku. Malas rasanya keluar kamar
”Belom mandi lo?”
Hheheheh, belom. Kayak nggak tau gue aja sih lo. Tumben,”
“Pak Widiyatno nggak masuk sekarang. Gue baru tau dari Leo barusan”
“Wah, parah. Belom juga masuk, udah nggak masuk aja, ckckck. Rugi dong 5.1 juta satu semester. Ckckck
“Eh, gue mau cerita..” bisiknya pelan
“Ya elah, kaya sama siapa aja deh lo San pake bisik-bisik segala. Emang ada apa sii?”
“Gini, cowok gue Ta,, Roy, blablablabla”
Ya, begitulah, dari SMA, sampai sekarang rasanya aku selalu menjadi orang kepercayaan teman-temanku. Bahkan teman seperjuanganku semasa SMA berharap aku mengambil jurusan psikologi. Ckckck
“Eh, cowok lo mana?” selesainya menyudahi luapan curahan hatinya itu.
”Nggak tau gue. Eh gue mandi dulu ya, masih lama kan lo?”
“Nggak deh, gue balik aja. Gue mau nyelesein yang tadi dulu sama cowok gue. Thanks ya Ta. Pake sikat kawat lo mandinya”
Yee,, enak aje lo. Ya udah, cepet pulang gih! Gue mau mandi dulu, mau ngajak ngoleksi photo ahh.. Biasa deh, photo-photoan gitu. Hahahaahh..”
”Ye,, dasar pasangan narsis. Langgeng ya Ta”
Amin. Ucapku dalam hati.
***
Akhir-akhir ini intensitas pertemuan kami berkurang. Rasanya sudah 2 minggu ini kami tak bertemu. Komunikasi hanya lewat telphone genggam. Itupun sudah beberapa hari terputus. Dia tak punya pulsa. Maklum anak kost-an. Alasan pertama kami jarang bertemu sudah jelas, karna kami beda fakultas. Itu yang membuat kami jarang bertemu di kampus. Kedua, kami sibuk dengan dunia masing-masing. Tapi dari sini aku belajar darinya bahwa dia mempunyai dunia sendiri tanpa harus ada aku disampingnya. Begitu pula sebaliknya. Bukankah kompak itu tidak selamanya harus bersama? Hm.. Dia mahasiswa Strata satu jurusan Ilmu Komunikasi. Hmm, untuk mengobati hati, iseng-iseng aku buka halamannya. Beginilah deskripsi kegiatanku kalau sudah kangen stadium akhir padanya. Ckkckckc. Heran. Aneh memang. Sampai sekarang aku juga belum paham betul karena apa aku tertarik padanya. Tampan? Jauh. Baik? Tentu. Humoris? Banget. Ya, mungkin itu dan sederet sifat lain yang ada padanya yang menyebabkanku nyaman bersamanya, terlebih ada didekatnya. Kalian tau? Rasanya seperti ada rasa kepuasan tersendiri kalau melihat halamannya. Melihat kegiatannya. Seperti aku benar-benar bersamanya, menemaninya selama 24 jam penuh. Hmm.. Penyakitkah ini? Entahlah. Tapi yang ku tau aku mulai merasa ketergantungan akan hadirnya. Seulas senyuman aku ukir ketika membaca halaman pertemanan kami dari awal sampai saat ini. Dasar kamu. Hanya itu ucapku sambil senyam-senyum sendiri. Seketika rasa penasaran itu muncul. Penasaran. Ya, satu kata itu. Selalu begini rasanya. Ku arahkan kursor kearah pencarian. Kutulis nama Kireina Alifia. Kebetulan aku dan Arif berteman dengannya dijejaring sosial itu. Dosakah aku? Entahlah. Yang aku tau ini bukan privacy lagi. Karena segala bentuk apapun itu kalau disimpan disini bukan privacy lagi namanya, tapi makanan public. Mungkin bukan aku saja yang seperti ini. Mungkin banyak wanita atau pria lain diluar sana yang sepertiku. Tapi mungkin banyak juga yang tidak melakukan hal bodoh seperti ini. Tapi ini caraku. Ini pilihanku. Bukannya manusia bebas memilih apa yang dia mau? Ia, ini pilihanku. Mungkin aku hanya terlalu takut dengan masa lalunya begitu pula dengan masa laluku sebagai gadis kedua setelah Anti. Iya, tapi memang seperti itu yang aku rasakan. Terlalu takut kalau sampai masa lalunya membawanya pergi. Terlalu childishkah aku? Ia mungkin. Atau mungkin bukan kata mungkin lagi. Tapi memang. Memang childish. Huffhh.. Bukannya nggak percaya padanya, tapi, siapa yang bisa ngejamin si? Hufh.. Entahlah. Pikiranku lagi-lagi tak karuan karena rasa takut itu. Berbeda dengan waktu itu, kali ini aku terus menelusuri halaman milik gadis bernama Kirei itu. Ternyata makin menelusuri, yang ada aku malah makin penasaran. Akhirnya sampai juga pada halaman yang sepertinya tidak harus aku ketahui. Tapi, apa daya. Nasi sudah menjadi bubur. Waktu tidak bisa diputar, dan rasa penasaran itupun tidak pernah hilang yang ada malah makin bertambah dan bertambah lagi. Satu persatu aku mulai membacanya, bait demi bait. Kuteliti tiap kalimat itu yang mereka rangkai diatas rasa kecewaku. Kuteliti maksud dari huruf-huruf yang mereka buat untuk menjadi sebuah kata yang akhirnya berhasil menjadi kalimat yang membuat mata ini tak berhasil membendung linangan airmata. Tumpah sudah airmataku, sakit rasanya. Makin sakit aku membacanya ketika orang yang aku sayangi meminta maaf pada gadis ini karena tak berhasil menjaganya, ya,, menjaga kisah kasih mereka selama hampir 3 tahun itu. Sesak dada ini. Kalimat itu seolah menari diatas layar laptop yang kini berada dipangkuanku. Semua kalimat berawalkan ’mungkin’ aku keluarkan. Sejenis kalimat Mungkin dia masih mempunyai rasa padanya atau bahkan bukan mungkin lagi. Tapi memang masih mempunyai rasa pada gadis ini. Sungguh bodohnya aku ini sampai kalimat terparah yang membuat emosi ini tak karuan dan membuatku krisis kepercayaan terhadapnya. Mungkin aku telah salah memilih orang. Ternyata photo itu? Kalimat itu? Hahh.. Mereka seolah menari-nari diatas kepalaku. Ya, photo itu. Tak sengaja aku ingat akan photo-photo mereka yang masih tersimpan rapih didompet orang yang aku sayangi itu. Sakit, sakit sekali. Andai waktu bisa diputar, aku lebih memilih melihat dan mengenang kisah kami yang baru kami rajut selama 10 bulan kebelakang. Ya,, lebih baik mengenang itu dari pada harus mengenang kisah mereka lewat tulisan tadi. Sakit rasanya. Tapi, itu pilihanku. Menjelajahi halaman gadis itu adalah pilihanku. Semua rasa bercampur menjadi satu. Sesal, kecewa, sakit, merasa terbohongi dan lain sebagainya yang sulit aku jabarkan. Sesal karena memilihnya, kecewa karena telah percaya padanya, sakit karena membaca yang seharusnya tak perlu dibaca, dan tau yang seharusnya aku tak perlu tau. Ya, dan aku merasa terbohongi oleh semua ini.
”Assalamu’alaikum. Ta,, Gita” panggil seseorang diluar sana yang suaranya sangat familiar aku dengar. Ia, dia Arif. Cepat-cepat aku hapus airmata ini.
”Wa’alaikum salam. Tunggu sebentar” jawabku sambil mengenakan kerudung segi empat berwarna hitam. Aku lupa. Tulisan itu membuat aku lupa dengan kencan sore ini yang aku rencanakan dengannya satu minggu lalu. Hari ini hari jadi kami yang ke 305 hari. Tapi rasanya ingin sekali aku sudahi. Huffh..
”Gita..” panggilnya lagi
”Ia bentaaarr” ucapku sambil membuka pintu setinggi dua meter itu
Surprise,,” ucapnya sambil membawa eskrim kesukaanku
”Nggak kaget” kataku sambil mengambil eskrim dari tangannya dan memakannya, lalu membuka lebar pintu kamar
”Ye,, kayak yang ngambek tapi diambil juga” katanya sambil mengusap kepalaku persis seperti anak kucing. Dan kemudian masuk dan mengambil secangkir air putih
”Kamu kenapa?” tanyanya setelah meneguk secangkir air tadi
”Pusing. Makasih eskrimnya” jawabku datar
”Kenapa sih? Nggak kayak biasanya deh”
”Serius. Cuma pusing” Jawabku sedikit ketus. Rasanya tak tepat kalau bicara sekarang. Karena itu aku masih bungkam untuk bicara
”Sore ini jadi?” tanyaku. Iya, dia memang selalu datang lebih awal. Janjian jam 5 sore, tapi jam 2 siang dia sudah sampai di kosanku yang letaknya tak jauh dari kampus
”Jadi” jawabnya lebih datar
”Kamu kenapa?” kini aku yang giliran balik bertanya
”Nggak apa-apa” jelasnya. Hening. Sampai dia angkat bicara lagi
”Eh ia, kamu inget Kirei?” tanyanya. Makin sesak dada ini mendengar nama gadis itu lagi. Huffh, kamu ada disini, tapi enggak sama hati kamu Bang, jeritku dalam hati. Sedang aku hanya bisa menghembuskan nafas sepanjang mungkin dan mencoba menganggukan kepala ini didepannya.
”Tadi aku wall-wall-an sama dia”
“Terus? Aku musti gimana?” tanyaku
“Ya,, nggak gimana-gimana. Aku bilang begini ke kamu, karena aku mau terbuka sama kamu,, kan waktu itu kamu pernah bilang kamu cemburu sama dia. Makanya aku bilang begini. Takut nanti pas nggak sengaja kamu lihat, kamu nggak salah paham” paparnya panjang. Terlambat Bang, aku sudah baca..
”Terus kalau sudah baca, kudu gimana emangnya?”
”Oh, kamu sudah baca?” kali ini dia malah balik bertanya
”Kan kalau Bang. Kalau” jelasku
”Ya,, nggak gimana-gimana” jawabnya. ”Aku sayang kamu Git,,” tambahnya. Hey, what? Sayang? Semudah itu Bang, kamu ngomong sayang?? Tapi,, hahh.. ingin rasanya aku teriak. Tulisan tangan itu kembali kuingat. Sakit.
”Banget Gita,,” tambahnya lagi sambil menatapku dalam. Sedang aku? Ya, aku hanya diam dengan sakit yang ku rasa. Mencoba menahan butiran airmata yang sudah tak sanggup aku tahan. Sakit. Sesak rasanya dada ini.
”Gita, kamu nangis?” ucapnya panik yang kini melihatku menangis untuk pertama kalinya
”Kenapa sayang? Kenapa?” sambil memegang kepalaku dan mencoba melihatku sampai aku mau mengatakan padanya
”Aku pusing. Cuma itu..” jawabku dengan nada melemah. Lalu melepas tangannya dari kepalaku. Roman wajahnya yang dulu selalu mengajakku dan membiarkanku tertawa atas ulahnya, kini berubah menjadi wajah bingung yang mungkin mempunyai tanda tanya besar dikepalanya mengapa aku sampai menangis seperti ini. Aku bingung harus bagaimana, dan mungkin dia juga begitu. Atau mungkin lebih bingung dariku. Itu kurangnya aku, selalu berharap oranglain tau apa yang aku rasa tanpa berucap sesuatu.
”Jadi nggak mau cerita?” tambahnya lagi. Aku hanya diam
”Ya udah, kalau belum mau cerita, tapi jangan nangis lagi ah” tambahnya sambil menghapus airmataku. Aku suka dengan adegan ini, bahkan sangat suka.
***
”Kamu mau makan dimana?” tanyanya sambil menoleh kearahku saat posisiku duduk persis dibelakangnya
”Terserah” jawabku cepat
”Jangan terserah dong..” pintanya. Kali ini nada bicaranya agak keras dan sedikit tinggi karena suara bising yang dihasilkan knalpotnya mengharuskan lelaki didepanku itu menaikan volume suaranya
Aduh Bang, aku kan baru napakin kaki disini. Mana tau. Terserah aja deh. Yang penting nyaman” jawabku dengan volume  yang tak kalah tinggi
”Oke deh, turun” pintanya setelah beberapa detik lalu berhenti di sebuah tempat makan lesehan milik Bu Sunarti itu
”Oh, sampe nih” tanyaku yang tak minta untuk dijawab
”Sekarang kamu ya yang pesen” pintanya setelah kami duduk manis disebelah kiri ruangan terbuka yang menyuguhkan pemandangan eksotis dari ketinggian di kota kembang itu
”Aduh, kamu aja deh. Aku idem Bang” pintaku
”Kenapa sih nggak mau mesen?” tanyanya sambil mengerenyitkan kedua alisnnya hingga menyatu
”Males aja” jawabku padat ditambah cengiran khas yang ku punya
”Mau makan nggak kamu?” tanyanya lagi. Pertanyaan itu memberhentikan kelakuanku yang sedang unjuk gigi itu
”Ia mau, tapi,, nggak juga nggak apa-apa deh” jawabku sedikit menunduk
”Loh, kenapa sih?” tanyanya dengan rona heran
”Nggak ada apa-apa.. Emangnya kenapa?” tanyaku sambil mengangkat kepala yang tadi sedikit tertunduk ditambah wajah bingung akan sikapnya
Hahh. Oke, kita pesan masing-masing!” tukasnya dengan nada tinggi. Aku bingung disitu. Biarlah. Aku berusaha tak menghiraukannya. Nggak makan juga nggak apa-apa. Pikirku. Ku tuang teh hangat yang sedari tadi disuguhkan oleh ibu-ibu berambut ikal itu.  Lumayan menghangatkan badan yang sedari tadi ku rasa dingin tak karuan. Indahnya disini. Gumamku dalam hati sambil tersenyum. Baru seteguk minuman itu masuk kedalam mulutku, pria kelahiran 88 itu memanggilku.
Gitaa.. Kesiniii” pintanya dengan sedikit nada jengkel. Langsung aku berdiri dan mendekat kepadanya. Seleraku berkurang. Jelas sedari tadi berkurang. Dari mulai tulisan itu, photo, sampai tadi sebelum kami berangkat kami sempat sedikit bertengkar antara jadi atau tidaknya berangkat ke tempat ini. Dan keselnya lagi, setelah sampai disini dia malah tidak mau memesan makanan untukku dan lebih memilih memesan masing-masing. Karena itukah? Gumamku sesak. Entahlah, aku jadi cepat sensi dengannya. Terlebih ingat kejadian 5 jam lalu. Inilah aku. Selalu mengaitkan sesuatu dengan sesuatu yang sepertinya tidak ada kaitannya. Karena itukah Rif sikap kamu berubah? Karena diakah?
”Cuma itu aja? Yakin?” tanyanya mengagetkanku. Aku hanya menganggukan kepala tanda iya. Sampai dalam kondisi makanpun kami tak kunjung bicara. Makan malam terdingin yang pernah ku rasa. Biasanya kami suka berebut lauk. Padahal, masing-masing sudah mendapatkan jatahnya sesuai keinginan. Tapi hal konyol itu selalu terulang ketika kami makan bersama, tapi tidak untuk malam ini. Iya, tidak untuk malam ini. Makin sesak rasanya aku. Rasanya semakin yakin kalau dia hanya menjadikanku selingan untuk mengobati hatinya dan kemudian kembali pada gadis itu. Gadis yang berhasil mengukir rekor tertinggi dihidupnya dengan kisah kasih yang mereka rajut selama kurang lebih 3 tahun itu. Rasanya lagu Sadis milik Afgan memang tepat untukku. Bodohnya aku. Ini harus aku akhiri. Pikirku.
”Ini minum dulu” pintaku sambil menyuguhkan teh hangat yang beberapa detik lalu aku tuangkan. Tanpa bicara apa-apa dia mengambilnya lalu meminumnya. Kemudian melanjutkan makannya. Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya selesai juga makan malam terdingin ini. Karena tak dapat lagi ditahan, kini ku mulai angkat bicara.
”Kamu kenapa Bang?” tanyaku yang duduk persis didepannya. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mencuci tangan di mangkuk yang tadi sudah disediakan. Kini aku menatapnya sambil sedikit menaikan dan mengerenyitkan kedua alisku
”Nggak kenapa-kenapa. Emangnya kenapa?” tanyanya sedikit senyum
Huffh.. Kamu tau, aku sudah baca wall-wallan kamu sama dia sebelum kamu bilang sama aku Bang” jelasku
”Jadi kamu.. Su”
”Iya Bang. Sakit bacanya. Kenapa sih harus kayak gitu? Maksud kamu minta maaf sama dia apa bang? Kamu masih sayang ya sama dia? Jawab..” tanyaku tak karuan. Kesal dan tak terasa airmata ini sudah menetes
”Oh.. Jadi..” belum selesai dia berbicara, lagi-lagi aku memotongnya
”Iya, kamu tau nggak gimana perasaan aku? Tega kamu. Aku seharusnya nggak perlu tau dan nggak perlu baca”
”Maaf sayang..” ucapnya sambil sedikit menunduk
”Hey, lihat aku. Apa maksud itu semua? Bisa jelasin?” pintaku dengan volume suara agak meninggi. Dia hanya diam dan makin menunduk. ”Ya udahlah sayang, dia cuma masa lalu aku. Dan tadi itu sekedar remembering” ucapnya pelan dan tak berani menatapku. ”Aku sayang kamu Git” tambahnya sambil mengangkat kepalanya perlahan
”Sayang, kamu tau? Rasanya sakit. Gimana ceritanya kamu berani bilang sayang sama aku sedang kamu masih sayang sama dia? Kamu masih berharap sama dia ya? Jawab aku” desakku membuang muka dan lebih memilih melihat panorama alam dimalam hari kemudian menjauh dari posisi duduknya
”Kenapa bilang begitu? Dia cukup masa lalu aku Git, dan kamu sekarang dan selamanya” ucapnya sambil mendekati posisi dudukku. Kini posisi kami tidak saling berhadapan, tapi sekarang dia berada di samping kananku.
Udahlah, nggak usah ngegombal hari gini. Okelah gini aja, mending sekarang kamu cerita sama aku, semua tentang kamu dan dia” sungutku tak sedikitpun menoleh kearahnya
”Aku juga nggak ngerti kenapa bisa begitu. Rasanya ngalir aja semuanya. Semua yang kita obrolin, ngalir semua. Aku juga nggak sadar Gita..”
”Iya, kamu kebawa masa lalu. Wajarlah. Cuma yang nggak wajar, kamu nggak mikirin perasaan aku gimana kalau sampai baca itu” posesifku kambuh lagi
”Aku nggak tau kalau kamu udah baca lebih dulu sebelum aku ngasih tau. Jadi mungkin kalau aku nggak ngasi tau kamu, prasangka kamu bisa lebih”
”Iya. Prasangka Gita bisa lebih parah” sungutku memotong kalimatnya sambil menoleh kearahnya
”Maaf ya.. Nggak ada maksud kayak gitu.. Maaf” ucapnya sambil menatapku penuh rona sesal
”Ya sudah sekarang biar aku lega, biar aku nggak naro prasangka aneh lagi sama kamu, bisa nggak kamu ceritain semua, semuanya tentang kamu dan dia? Bisa nggak Bang?” tanyaku. Ku tangkap hanya tarikan nafas panjang saja yang dia suguhkan kepadaku. ”Kita, aku sama dia temenan dari SMP, dan baru jadian SMA kelas XI. SMA kita nggak satu sekolah. Dia anaknya tomboy. Banyak hal aneh yang kita laluin. Kita juga suka berantem. Bahkan terbilang sering. Dan kalau udah berantem, baiknya lagi susah banget. Dia tu bener-bener kayak cowok. Jadi egonya juga sama kayak aku. Kamu tau kan aku gimana? Hm.. Bisa seminggu kita nggak ada komunikasi. Tapi akhrinya baikan lagi sih kalau ada yang ngemulai buat ngajak damai. Kalau enggak mah, nggak tau juga deh. Karena jarang diomongin dan ngebiarin waktu aja yang nyudahin. Tuh kan jadi inget lagi..” jelasnya lalu menoleh ke arahku. ”Lanjut” hanya itu bahasaku yang keluar tanpa menoleh ke arahnya
”Aduh.. Jadi diintrogasi gini. Iya, cuma segitu aja sih yang kayak kamu baca aja. Cuma segitu” ucapnya sambil menggaruk-garuk lehernya yang mungkin memang gatal. Aku menoleh, diapun ternyata juga. Tapi aku hanya melotot minta diteruskan.
”Kita backstreet. Tapi nggak tau kenapa kita suka ketemuan di rumahnya. Mungkin keluarganya ngeh-nya kita cuma reuni kecil-kecilan di rumahnya. Jadi nggak kepikiran punya hubungan lebih mungkin. Nggak taulah. Pas aku semester satu, kita mulai jarang ketemu. Paling, seminggu sekali. Selebihnya hanya via ponsel. Aku modal percaya aja sama dia. Karena tiap ikatan emang harus ada modal kayak gitu kan? Tapi kamu taukan gimana ceritanya? Iya begitu. Nggak nyangka aja” paparnya panjang sambil geleng-geleng seperti rona kecewa.
”Jadi kamu masih sayang ya?” ucapku menolehnya lagi
”Udah ah, jangan tanya itu lagi. Itu dulu sayang,, jadi karena ini ya kamu cemberut kayak gini dari tadi? Dari sebelum kita berangkat, dari awal pas aku dateng ke kosan kamu?”
”Iya. Udah deh lanjutin, nggak usah ngalihan pembicaraan” sindirku sambil tersenyum geregetan pengen merauk wajahnya
”Iya, kita jadian tanggal 1 Februari 2007”
”Hmm.. Berarti sekarang malam pas kamu nyatain perasaan kamu dong ya? Berarti sekarang empat tahun kalian. Waw, selamat ya” ucapku sambil mengusap airmata yang mengganjal di kedua bola mataku. Ku tangkap gerak gerik panik darinya karena melihatku nangis lagi.
”Jangan nangis dong.. Tuh kan, udah ah, nggak dilanjutin” ucapnya sambil menghapus airmataku dengan punggung tangannya
”Terusin”
”Sayang, itu kan dulu. Lagi juga sekarang dia udah punya pacar juga.. Jadi nggak perlu jelous sampai segininya ah.. Yahh” pintanya
”Iya, aku percaya sama kamu. Tapi sama dia? Sama kenangan kamu dan dia? Apa bisa? Apa kamu nggak inget, dulu pas waktu kamu sama dia, status kamu masih pacarnya, dia pergi kan ninggalin kamu sebagai pacarnya dan lebih milih sama temen deketnya. Apa nggak mugkin dia bakal kayak gitu lagi? Cukup dong Bang, aku cuma mau kamu nggak disakitin, aku cuma mau kamu nggak nyakitin diri sendiri dan aku juga nggak mau sakit lagi. Jadi cukupin” luapku panjang
”Iya sayang, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud kayak yang kamu maksud. Maaf ya.. Hm,, tapi aku seneng loh sama hubungan kita ini. Segala sesuatunya diomongin. Rasanya nggak ada satu halpun yang kamu tutupin ke aku Git, makasih yah.. Aku juga jadinya bisa introspeksi diri” ucapnya sambil tersenyum dan melepas jaketnya kemudian memakaikannya dipunggungku
”Aku jadi inget catetan kamu yang kamu tag buat aku. Inti isinya begini, walau kita sering berantem karena hal konyol, ujung-ujungnya kita baikan lagi kan ya? Aku sayang kamu Git..” ucapnya sambil menyimpan kepalaku di pundaknya. Jelas sudah semuanya. Aku juga sayang kamu Bang.. Ucapku dalam hati.
***

3 komentar:

  1. Bagus ceritanya...
    knp g d bikin novel aja???


    ABNR ^_^

    BalasHapus
  2. "Sejak dahulu begitulah cinta, deritanya tiada akhir"

    BalasHapus
  3. My ABNR ;p
    huaaa,, seneng :* bner nih? ah boong situ mah ;p
    syg km sgt amat :)


    a maik,
    beuhhh.. itu mulu komenY -.-"

    BalasHapus

Tulis dong menurut lo. Biar eksis! ;)