Lagi Ry, wajahnya memenuhi ruang
pikirku. Tak terelakkan. Sejak setahun lalu rasanya masih sama. Tak sehari pun
pikiranku tanpa bayangnya, hariku tanpa namanya, dan perasaan ingin selalu
bertemu itu selalu membuatku hampir limbung. Membuat azzamku ingin move on tanpa memikirkannya rasanya
seperti niat tanpa tekad.
Tadi siang, tak sengaja aku
bertemu dengannya di parkiran kampus. Dia, yang sepertinya tak sengaja menoleh
ke arahku, otomatis melemparkan senyum. Alamak, bagaimana tembok pertahanan
yang barusan seminggu yang lalu kubangun tidak hancur? Apa aku harus
menghindari ke kampus pada jam-jam dia ada di kampus ya? Supaya ini bisa
menjadi lebih mudah. Berbalik 180 derajat dengan apa yang kulakukan sejak aku
terinfeksi virus ini. Menstalking
jadwal kuliahnya, dan tepat di jadwal itu pulalah aku akan berada di kampus.
##
Ry, kenapa hidup begitu sulit ya?
Terkadang ketika kita mengharapkan sesuatu, kita tidak mendapatkannya. Namun
ketika kita tak lagi mengharapkannya, sesuatu itu malah menghampiri kita. Tadi
pagi, ketika aku menuju kelasku, seseorang memanggil namaku. Astaga, dia!
Setelah mendekatiku, dia bertanya mengenai seorang dosen jurusanku yang sedang
dia cari. Aku menjawab seperlunya dan ia kembali berlalu. Meninggalkanku yang
hampir sesak napas, karena lupa menghirup oksigen selama satu menit dia di
depanku.
Mengapa baru sekarang kesempatan
berbicara dengannya tiba? Saat aku (sedang berusaha) melupakannya,
menghilangkan rasa sakit yang tercipta akibat rasa abstrak gila ini. Awalnya,
ketika aku magang di sebuah kantor IT di kotaku. Aku berkenalan dengannya yang
juga magang di sana. Walaupun satu fakultas dan satu angkatan, hanya beda
jurusan, aku baru bertemu dengannya saat magang. Minggu kedua, aku mulai
terinfeksi virus itu. Membuat temanku selalu sirik setiap kusebut namanya,
setiap wajahku memerah ketika ia lewat dan tersenyum pada kami. Duh, rasanya
kantorku berwarna pink semua. Selama satu bulan setengah magang, kulalui dengan
keping-keping merah jambu.
##
Saat ini aku sedang online, satu
kebiasaan yang (tak sengaja) ia wariskan padaku yang masih bertahan. Meski tidak
menulis status, karena kebiasaan aku setidaknya harus online sesaat sebelum
tidur. Meski hanya melihat status facebook teman-teman di dunia maya. Terkadang,
aku juga menulis catatan galau. Tentang siapa lagi, selain dia.
Awalnya karena setelah waktu
magang berakhir, aku sedikit patah hati. Tentu saja, karena aku tak bisa
bertemu dengannya lagi setiap hari. Beruntung, dunia canggih sekarang. Sehingga
aku bisa stalk tentangnya via media
sosial. Hal inilah yang membuatku -yang awalnya apatis di dunia maya, menjadi
hiperaktif online tiap waktu hanya untuk membaca status facebook atau tweet
yang dia posting.
##
Ry, seperti yang sebelumnya
kuceritakan padamu seminggu lalu. Aku mulai resmi patah hati dan kembali (bertekad)
bangkit setelah memikirnya lebih dalam selama 24 jam penuh. Hanya karena dia
tidak mencantumkan relationship di
profil facebooknya, aku yakin dia belum punya wanita spesial. Seminggu yang
lalu, seperti biasa aku ngestalk facebooknya.
Foto yang terupload via akunnya
menampilkan seorang gadis manis sedang membaca buku. Di ujung kanan bawah foto
tersebut tertulis my heart. Kata
itulah yang membuatku mundur teratur.
Ini salahku, terlalu cepat
mengambil kesimpulan. Awalnya kupikir masalah terbesar adalah ketika waktu
magang habis, aku tidak bisa melihat senyum manisnya setiap hari. Masalah
terbesarku ternyata adalah aku terobsesi. Rasa sukaku itu merupakan sketsa
abstrak tanpa realita. Bukan salahnya, karena aku pun tak pernah terus terang.
Meski tidak ada kitab yang menyalahkan perempuan untuk menyatakan rasa terlebih
dahulu, aku tetap tak bisa melakukan itu. Hingga foto itu muncul, meruntuhkan
segalanya, memadamkan obsesiku.
##
Hari-hari move-onku sangat berat Ry. Apalagi satu minggu pertama, karena aku
terbiasa memikirkannya. Apalagi sekarang entah kenapa beberapa kebetulan
bertemu dengannya, membuatku benar-benar harus berpegangan erat pada tekad
untuk berhenti meracuni diri atas nama obsesi.
Sekarang, satu bulan setelah
deklarasi resmiku ingin memindahkan hatiku darinya. Aku yakin ini belum
sepenuhnya sembuh. Namun jelas lebih baik daripada perlahan terbunuh sendirian
karena perasaan. Aku lebih memilih sunyinya dirimu, Ry dibandingkan riuhnya
hatiku yang bermonolog sakit jiwa tentangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulis dong menurut lo. Biar eksis! ;)