Jumat, 16 Mei 2014

Diary Sunyi

Oleh : Rindang Yuliani


Lagi Ry, wajahnya memenuhi ruang pikirku. Tak terelakkan. Sejak setahun lalu rasanya masih sama. Tak sehari pun pikiranku tanpa bayangnya, hariku tanpa namanya, dan perasaan ingin selalu bertemu itu selalu membuatku hampir limbung. Membuat azzamku ingin move on tanpa memikirkannya rasanya seperti niat tanpa tekad.
Tadi siang, tak sengaja aku bertemu dengannya di parkiran kampus. Dia, yang sepertinya tak sengaja menoleh ke arahku, otomatis melemparkan senyum. Alamak, bagaimana tembok pertahanan yang barusan seminggu yang lalu kubangun tidak hancur? Apa aku harus menghindari ke kampus pada jam-jam dia ada di kampus ya? Supaya ini bisa menjadi lebih mudah. Berbalik 180 derajat dengan apa yang kulakukan sejak aku terinfeksi virus ini. Menstalking jadwal kuliahnya, dan tepat di jadwal itu pulalah aku akan berada di kampus.
##
Ry, kenapa hidup begitu sulit ya? Terkadang ketika kita mengharapkan sesuatu, kita tidak mendapatkannya. Namun ketika kita tak lagi mengharapkannya, sesuatu itu malah menghampiri kita. Tadi pagi, ketika aku menuju kelasku, seseorang memanggil namaku. Astaga, dia! Setelah mendekatiku, dia bertanya mengenai seorang dosen jurusanku yang sedang dia cari. Aku menjawab seperlunya dan ia kembali berlalu. Meninggalkanku yang hampir sesak napas, karena lupa menghirup oksigen selama satu menit dia di depanku.
Mengapa baru sekarang kesempatan berbicara dengannya tiba? Saat aku (sedang berusaha) melupakannya, menghilangkan rasa sakit yang tercipta akibat rasa abstrak gila ini. Awalnya, ketika aku magang di sebuah kantor IT di kotaku. Aku berkenalan dengannya yang juga magang di sana. Walaupun satu fakultas dan satu angkatan, hanya beda jurusan, aku baru bertemu dengannya saat magang. Minggu kedua, aku mulai terinfeksi virus itu. Membuat temanku selalu sirik setiap kusebut namanya, setiap wajahku memerah ketika ia lewat dan tersenyum pada kami. Duh, rasanya kantorku berwarna pink semua. Selama satu bulan setengah magang, kulalui dengan keping-keping merah jambu.
##
Saat ini aku sedang online, satu kebiasaan yang (tak sengaja) ia wariskan padaku yang masih bertahan. Meski tidak menulis status, karena kebiasaan aku setidaknya harus online sesaat sebelum tidur. Meski hanya melihat status facebook teman-teman di dunia maya. Terkadang, aku juga menulis catatan galau. Tentang siapa lagi, selain dia.
Awalnya karena setelah waktu magang berakhir, aku sedikit patah hati. Tentu saja, karena aku tak bisa bertemu dengannya lagi setiap hari. Beruntung, dunia canggih sekarang. Sehingga aku bisa stalk tentangnya via media sosial. Hal inilah yang membuatku -yang awalnya apatis di dunia maya, menjadi hiperaktif online tiap waktu hanya untuk membaca status facebook atau tweet yang dia posting.
##
Ry, seperti yang sebelumnya kuceritakan padamu seminggu lalu. Aku mulai resmi patah hati dan kembali (bertekad) bangkit setelah memikirnya lebih dalam selama 24 jam penuh. Hanya karena dia tidak mencantumkan relationship di profil facebooknya, aku yakin dia belum punya wanita spesial. Seminggu yang lalu, seperti biasa aku ngestalk facebooknya. Foto yang terupload via akunnya menampilkan seorang gadis manis sedang membaca buku. Di ujung kanan bawah foto tersebut tertulis my heart. Kata itulah yang membuatku mundur teratur.
Ini salahku, terlalu cepat mengambil kesimpulan. Awalnya kupikir masalah terbesar adalah ketika waktu magang habis, aku tidak bisa melihat senyum manisnya setiap hari. Masalah terbesarku ternyata adalah aku terobsesi. Rasa sukaku itu merupakan sketsa abstrak tanpa realita. Bukan salahnya, karena aku pun tak pernah terus terang. Meski tidak ada kitab yang menyalahkan perempuan untuk menyatakan rasa terlebih dahulu, aku tetap tak bisa melakukan itu. Hingga foto itu muncul, meruntuhkan segalanya, memadamkan obsesiku.
##
Hari-hari move-onku sangat berat Ry. Apalagi satu minggu pertama, karena aku terbiasa memikirkannya. Apalagi sekarang entah kenapa beberapa kebetulan bertemu dengannya, membuatku benar-benar harus berpegangan erat pada tekad untuk berhenti meracuni diri atas nama obsesi.
Sekarang, satu bulan setelah deklarasi resmiku ingin memindahkan hatiku darinya. Aku yakin ini belum sepenuhnya sembuh. Namun jelas lebih baik daripada perlahan terbunuh sendirian karena perasaan. Aku lebih memilih sunyinya dirimu, Ry dibandingkan riuhnya hatiku yang bermonolog sakit jiwa tentangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulis dong menurut lo. Biar eksis! ;)